HUKUM
AGRARIA
No.
|
Perbandingan Lama
|
Perbandingan Baru
|
1.
|
Sumber
Hukum Tertulis
|
|
a).
Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya
IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum
Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal
163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada
intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru).
Sedangkan
Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan
tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini
bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga
golongan, yakni :
1. Golongan
Eropa
2. Golongan
Bumi Putera
3. Golongan
Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1. Menghendaki
supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2. Memberlakukan
hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda
berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka
kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan
bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4. Memberlakukan
dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat
menghendaki demikian.
Pembagian
golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan
sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 131 IS.
|
a).
Pancasila
Konsep keadilan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep
keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 pancasila, memang tidak mudah
untuk dipahami, terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkrit. Bagi
Indonesia sesuai dengan Falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk
menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat universal,
jauh didalam lubuk hati setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang
dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
Dalam pengertian keadilan, pada
umumnya diberi arti sebagai keadilan ”membagi” atau ” distributive
justice” yang secara sederhana menyatakan bahwakepada setiap orang
diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan
masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang
statis, tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara
berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.
|
|
b). Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet,
politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan
politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di bidang usaha, pengusaha
diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang
pertanian di Indonesia.
Agrarische Wet merupakan hasil dari
rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55, sebagai tambahan ayat-ayat
baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No. 2. semula RR terdri
dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh
Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian
menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447. isi Pasal
51 IS, adalah sebagai berikut:
1. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang
tidak luas, yang tidak diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta
pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
3. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang
boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan
hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat pengembalaan umum atas
dasar lain merupakan kepunyaan desa.
4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi,
diberikan tanah dengan Hak Erfpacht selam tidak lebih dari 57 tahun.
5. Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi
pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.
6. Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah
kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang dipergunakan untuk kepentingan
sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai tempat pengembalaan umum atau
atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum atas
dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang
diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang
bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi
dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak
milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadnya
dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai
yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya,
yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan,
demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi.
Persewaan atau serah pakai tanah
oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang
diatur dengan Ordonansi.
|
b).
TAP MPR
Reforma Agraria merupakan
iplementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003 tentang
Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas Laporan Pelaksanaan
Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI
Tahun 2003. Salah satu butir saran dimaksud kepada Presiden Republik
Indonesia, terkait dengan perlunya Penataan Struktur Penguasaan, Pemilikan,
Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah.
Reforma Agraria atau secara legal
formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi
(penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan
sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses
yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".
|
|
c). Agrarische Besluit Stb. No, 118
Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu
keputusan yang penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit, yang
kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit, Stb. 1870 No. 118.
Agrarische Besluit terdiri atas tiga bab, yaitu:
1. Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah
2. Pasal 8 – 8b tentang pelapasan tanah, dan:
3. Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.
Pada Pasal 1 Agrarische Besluit
memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein Verklaring” (pernyataan
kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan
3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.
Asas Domein (domein beginsel) atau
pernyataan domein berdasarkan Pasal 20 Agrarische Besluit hanya diberlakukan
di Jawa dan Madura. Dengan Stb. 1875 No. 119a, pernyataan domein itu
diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. [ernyataan yang dimuat
dalam Stb. 1870 No. 118 dan Stb. 1875 No. 119a itu bersifat umum (Algemene
Domein Verklaring). Di samping itu, juga ada pernyataan domein yang berlaku
khusus (Speciale Domein Verklaring), yang berisi: “semua tanah kosong dalam
daerah pemerintahan langsung …. adalah domein negaa, kecuali yang diusahakan
oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak pembukaan
hutan. Mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan
pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi
hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.
Maksud pernyataan domein khusus
tersebut adalah untuk menegaskan agar tidak ada keraguan bahwa satu-satunya
penguasa yang berwenag untuk memberikan tanah-tanah yang dimaksudkan itu
kepada pihak lain adalah pemerintah. Pernyataan domein khusu berlaku bagi
daerah Sumatra diatur dalam Stb. 1874 No. 94f, Manado dalam Stb. 1877 No. 55,
dan untuk Kalimantan Selatan/Timur dalm Stb. 1888 No. 58.
Dengan
adanya pernyataan domein,maka tanah-tanah di Hindia Belanda ( Indonesia )
dibagi menjadi due jenis,yaitu :
a. Vrijlands Domein atau tanah negara bebas,yaitu tanah
yang diatasnya tidak ada hak penduduk bumi putera.
b. Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak
bebas,yaitu tanah yang diatasnya ada hak penduduk maupun desa.
Dalam
praktiknya Domein Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial
untuk dapat memberikan tanah dengan hak-barat seperti yang diatur dalam KUH
Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht.
2. Untuk keperluan pembuktia kepemilikan, yaitu apabila
negara berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas
tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.
Pada masa berlakunya Domein
Verklaring terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang tidak termasuk ke dalam KUH Perdata. Hak atas tanah itu adalah
Hak Agrarische Eigendom, yaitu hak yang berasal dari hak milik adat yang atas
permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur tertentu diakui keberadaannya
oleh pengadilan. Hak ini diatur dalam Koninklijk Besluit Stb. 1872 No. 117
dan Stb. 1873 No. 38.
Pada masa berlakunya Agrarische Besluit,
di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat ketentuansemacam Domein Verklaring,
yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta tahn 1918 No. 16.
|
c).
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Secara konstitusional pengaturan
masalah prekonomian didalamnya termasuk ekonomi sumber daya alam (SDA) di
Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal tersebut dapat kita lihat dalam
Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :
(1) Prekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Prekonomian
nasional diselengarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33
nampak jelas bahwa dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara
sangat diperlukan. Ikut campurnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat
sebagaimana ketentuan dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita
dianut sistem negara welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukan
bahwa masalah ekonomi, bukan hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada
mekanisme pasar semata-mata tetapi juga diperlukan peranan negara, terutama
yang berkaitan dengan bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Khusus mengenai pembangunan hukum agraria dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal
33 ayat 3 yang menyebutkan : ”Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai ole negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya termasuk
dalam pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. dengan
demikian secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan
pertanahan (yang didalamnya terdapat program landreform) di
Indonesia telah dimulai sejak indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
|
|
d). Peraturan Pelaksana
Diproklamirkannya kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa
Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan
sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang
sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan
keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai
menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut
:
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah
penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di
daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari
luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat
seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh
semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu
cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan
produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah
perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk
usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di
daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan
penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah
menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan
ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian
Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua)
sebagai berikut :
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar
agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat
antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian
penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan
memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak
perkebunan yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan
perekonomuian negara.
Agar pelaksanaan dari keputusan
tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai
berikut :
a. Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah
perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka
dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b. Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau
menghalangi;
c. Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan
seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah
tuntutan ini diberlakukan;
d. Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah pendudukan kembali
tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang
larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor :
51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan
dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah
membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang :
Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan
Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang :
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang :
Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah
milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
|
d).
UUPA,UU Pelaksana UUPA,UU lain yang obyeknya Agraria karena kebutuhan khusus
Sebagaimana yang disinggung dimuka,
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu telah dijabarkan lebih lanjut
didalam Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
(UUPA), terutama tentang pengertian ”dikuasai negara” yaitu member wewenang
kepada negara untuk :
(a) mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut.
(b) Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
(c) Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sementara wewenang tersebut harus
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Payung bagi pelaksanaan landreform
di Indonesia adalah UUPA (Undang- undang Pokok Agraria, UU No. 5/1960) dan
UUPBH (Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2/1960). Diperlukan waktu
12 tahun, sejak tahun 1948 ketika panitia persiapan dibentuk, untuk
menghasilkan kedua undang-undang tersebut. Dengan lahirnya Undang-undang
Pokok Agraria atau yang kita kenal dengan sebutan UUPA maka UUPA menempati
posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA
mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan
kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Nilai-nilai tersebut
dicerminkan oleh :
(1) Tanah dalam
tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besar
kemakmuran rakyat
(2)
Pemilikan/penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan
(3)Tanah
bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh
diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan
(4) Setiap warga
negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya,
menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan
hidup dan prosuktivitas sumber daya alam
(5) Hukum adat
atas tanah diakui sepanjang memenuhi persayaratan yang ditetapkan.
Wewenang yanng bersumber dari hak
menguasai negara meliputi tanah yang sudah dilekati oleh sesuat hak atau
bekas hak perorangan, tanah yang masih ada hak ulayat dan tanah negara.
Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai negara yang meliputi tanah dengan hak
perorangan adalah bersifat pasif, danmenjadi aktif apabila tanah tersbeut
dibiarkan tidak diurus/diterlantarkan. Terhadap tanah yang tidak dipunyai
oleh seseorang/badan hukum dengan hak apapun dan belum dibuka maka hak
menguasai negara bersifat aktif.
Dalam lingkupnya dengan masalah landreform
ketentuan tersebut diatas mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah
kepemilikan tanah secara perseorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak
tersebut harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dan ini merupakan
kewajiban bagi pemegang hak tersebut. Hal ini tentunya sesuai dengan
prinsip-prinsip landreform seagaimana yang tercantum antara lain
dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.
|
|
e).
Perpu
1. Perpu dibuat untuk mencabut pasal-pasal tentang pengaturan
objek-objek agraria dalam berbagai undang-undang.
2. Perpu Reforma Agraria dibentuk dibuat untuk mencabut
kewenangan lembaga-lembaga sektoral dan pemerintah daerah dalam undang-undang
berkaitan dengan sumber-sumber agraria.
3. Perppu itu juga menegaskan pengakuan atas berlakunya
kepemilikan adat berdasarkan hukum adat setempat dan kearifan lokal suatu
daerah.
|
||
f).
Peraturan Pemerintah
Sebagaimana diatur dalam Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No. 40/ 1996”),
ketika HGB tersebut hapus maka tanahnya akan menjadi tanah Negara.
Apabila HGB tersebut diatas tanah
hak pengelolaan, maka tanahnya akan menjadi kembali ke dalam penguasaan
pemegang hak pengelolaan. Jika tanah HGB tersebut di atas tanah hak milik,
maka tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik. Apabila
tanah HGB saudara di atas tanah Negara maka satu tahun sejak hapusnya HGB dan
tidak dilakukan perpanjangan atau pembaharuan, maka tanah tersebut harus
dikembalikan kepada Negara sebagaimana dalam Pasal 37 PP No. 40/1996, sebagai
berikut:
“Apabila Hak
Guna Bangunan atas tanah Negara hapus dan diperpanjang atau tidak
diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan
dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara
dalam keadaan kosong selambat-lambatnya satu tahun sejak hapusnya Hak Guna
Bangunan”
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, maka dapat diketahui bahwa tanah HGB kembali kepada pemegang dasar dari
hak atas tanah tersebut. Untuk hal tersebut, Bapak harus mengetahui apakah
tanah tersebut adalah HGB di atas hak pengelolaan, hak milik, atau di atas
tanah negara. Sebab berdasarkan hukum tanah tersebut telah kembali kepada
mereka.
|
||
g).
Keputusan Presiden
Sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1979, maka Tanah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir
selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960, pada saat
berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara. Dengan demikian, terdapat penguatan
dan penyempurnaan mengenai
ketentuan tersebut, yang mengembalikan hak-hak
atas tanah tersebut
menjadi dikuasai langsung oleh
Negara. Selanjutnya, Negara yang menentukan penggunaan, penguasaan dan
pemilikan hak atas tanah tersebut.
|
||
h).
Peraturan Menteri
Berdasarkan Permenag No. 9/1999,
pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih
lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan
peruntukandan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga
dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
|
||
i).
Perda ( Perdais )
Contoh Di Yogyakarta :
Berdasarkan undang-undang tentang
pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 3/1950), beberapa urusan
diserahkan kepada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan
otonom. Salah atu akibat dari penyerahan kewenangan ini adalah belum diberlakukannya
UUPA No. 5 tahun 1960 di Propinsi tersebut secara penuh.
|
||
2.
|
Sumber
Hukum Tidak Tertulis
|
|
a).
Hukum Kebiasaan Administrasi
Hukum Kebiasaan yang ada sebelum
pemberlakuan UUPA No.5 Tahun 1960 yaitu yurisprudensi.
|
a).
Hukum Kebiasaan Administrasi
Hukum Kebiasaan yang timbul setelah
berlakunya UUPA yaitu yurisprudensi dan praktik administrasi.
|
|
b).
Hukum Adat
Hukum agraria lama, bersifat
dualistis (asas domeinverklaring), artinya disamping berlaku hukum agraria adat,
berlaku juga hukum agraria barat secara bersamaan dalam satu
negara. Hukum agraria adat adalah keseluruhan kaidah hukum agraria yang
bersumber pada hukum adat yang berlaku atas tanah tertentu. Hukum agraria
barat adalah keseluruhan kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum
perdata barat, kususnya yang diatur dalam kitab UU hukum perdata.
Dari penjelasan tersebut dapat kita
ketahui bahwa mengenai Hukum Agraria Adat pernah diberlakukan sebagai sumber
hukum agrari yang lama dimana pemberlakuannya bersaan dengan Hukum Agraria
Barat.
Semoga Bermanfaat, Jika Berkenan Tinggalkan Comment dan Share Untuk Membantu Yang Membutuhkan Informasi, Terima Kasih.
Artikel Menarik Lainnya :
|
b).
Hukum Adat
Hukum adat yang seirama dan sesuai
dengan ketentuan yang ada di Pasal 5 UUPA, yakni :
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar