Perbandingan Sumber Hukum Agraria yang Lama dengan Sumber Hukum Agraria yang Baru - Sewa Pickup Murah Jogja

Jumat, Oktober 20, 2017

Perbandingan Sumber Hukum Agraria yang Lama dengan Sumber Hukum Agraria yang Baru


                                                 HUKUM AGRARIA





“ Perbandingan Sumber Hukum Agraria yang Lama dengan Sumber Hukum Agraria yang Baru


No.
Perbandingan Lama

Perbandingan Baru
1.

Sumber Hukum Tertulis



a). Indische Staatsregeling (I.S.)

          Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru).

          Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1.   Golongan Eropa
2.   Golongan Bumi Putera
3.   Golongan Timur Asing.

Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1.   Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.   Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3.   Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.   Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.


          Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.


a). Pancasila
          Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkrit. Bagi Indonesia sesuai dengan Falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat universal, jauh didalam lubuk hati setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
          Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan ”membagi” atau ” distributive justice” yang secara sederhana menyatakan bahwakepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis, tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.


b).  Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
          Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.
          Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No. 2. semula RR terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447. isi Pasal 51 IS, adalah sebagai berikut:
1.      Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2.      Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang tidak diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
3.      Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
4.      Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi, diberikan tanah dengan Hak Erfpacht selam tidak lebih dari 57 tahun.
5.      Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.
6.      Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum atas dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7.      Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadnya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi.
          Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan Ordonansi.


b). TAP MPR
         
          Reforma Agraria merupakan iplementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003. Salah satu butir saran dimaksud kepada Presiden Republik Indonesia, terkait dengan perlunya Penataan Struktur Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah.
          Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".



c). Agrarische Besluit Stb. No, 118
          Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit, yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit, Stb. 1870 No. 118. Agrarische Besluit terdiri atas tiga bab, yaitu:
1.      Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah
2.      Pasal 8 – 8b tentang pelapasan tanah, dan:
3.      Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.
          Pada Pasal 1 Agrarische Besluit memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein Verklaring” (pernyataan kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.
          Asas Domein (domein beginsel) atau pernyataan domein berdasarkan Pasal 20 Agrarische Besluit hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Dengan Stb. 1875 No. 119a, pernyataan domein itu diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. [ernyataan yang dimuat dalam Stb. 1870 No. 118 dan Stb. 1875 No. 119a itu bersifat umum (Algemene Domein Verklaring). Di samping itu, juga ada pernyataan domein yang berlaku khusus (Speciale Domein Verklaring), yang berisi: “semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung …. adalah domein negaa, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak pembukaan hutan. Mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.
          Maksud pernyataan domein khusus tersebut adalah untuk menegaskan agar tidak ada keraguan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenag untuk memberikan tanah-tanah yang dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah pemerintah. Pernyataan domein khusu berlaku bagi daerah Sumatra diatur dalam Stb. 1874 No. 94f, Manado dalam Stb. 1877 No. 55, dan untuk Kalimantan Selatan/Timur dalm Stb. 1888 No. 58.
Dengan adanya pernyataan domein,maka tanah-tanah di Hindia Belanda ( Indonesia ) dibagi menjadi due jenis,yaitu :
a.       Vrijlands Domein atau tanah negara bebas,yaitu tanah yang diatasnya tidak ada hak penduduk bumi putera.
b.      Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas,yaitu tanah yang diatasnya ada hak penduduk maupun desa.
Dalam praktiknya Domein Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:
1.      Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-barat seperti yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht.
2.      Untuk keperluan pembuktia kepemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.
          Pada masa berlakunya Domein Verklaring terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tidak termasuk ke dalam KUH Perdata. Hak atas tanah itu adalah Hak Agrarische Eigendom, yaitu hak yang berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur tertentu diakui keberadaannya oleh pengadilan. Hak ini diatur dalam Koninklijk Besluit Stb. 1872 No. 117 dan Stb. 1873 No. 38.
          Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat ketentuansemacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta tahn 1918 No. 16.

c). UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
          Secara konstitusional pengaturan masalah prekonomian didalamnya termasuk ekonomi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :
(1) Prekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Prekonomian nasional diselengarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi  dengan  prinsip  kebersamaaan,  efisiensi  berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
          Berdasarkan ketentuan Pasal 33 nampak jelas bahwa dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan. Ikut campurnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita dianut sistem negara welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa masalah ekonomi, bukan hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar semata-mata tetapi juga diperlukan peranan negara, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Khusus mengenai pembangunan hukum agraria dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan : ”Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai ole negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya termasuk dalam pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. dengan demikian secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan pertanahan (yang didalamnya terdapat program landreform) di Indonesia telah dimulai sejak indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.





d). Peraturan Pelaksana

        Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
a.       Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat  seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b.      Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c.       Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d.      Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.

          Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
a.       Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b.      Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1)      Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2)      Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.

          Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :
a.       Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b.      Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c.       Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
d.      Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.

          Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1.      Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2.      Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3.      Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4.      Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.


d). UUPA,UU Pelaksana UUPA,UU lain yang obyeknya Agraria karena kebutuhan khusus
          Sebagaimana yang disinggung dimuka, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu telah dijabarkan lebih lanjut didalam Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA), terutama tentang pengertian ”dikuasai negara” yaitu member wewenang kepada negara untuk :
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
(b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
(c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
          Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Payung bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA (Undang- undang Pokok Agraria, UU No. 5/1960) dan UUPBH (Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2/1960). Diperlukan waktu 12 tahun, sejak tahun 1948 ketika panitia persiapan dibentuk, untuk menghasilkan kedua undang-undang tersebut. Dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria atau yang kita kenal dengan sebutan UUPA maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan oleh :
(1) Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besar kemakmuran rakyat
(2) Pemilikan/penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan
(3)Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan
(4) Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan prosuktivitas sumber daya alam
(5) Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persayaratan yang ditetapkan.
          Wewenang yanng bersumber dari hak menguasai negara meliputi tanah yang sudah dilekati oleh sesuat hak atau bekas hak perorangan, tanah yang masih ada hak ulayat dan tanah negara. Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai negara yang meliputi tanah dengan hak perorangan adalah bersifat pasif, danmenjadi aktif apabila tanah tersbeut dibiarkan tidak diurus/diterlantarkan. Terhadap tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang/badan hukum dengan hak apapun dan belum dibuka maka hak menguasai negara bersifat aktif.
          Dalam lingkupnya dengan masalah landreform ketentuan tersebut diatas mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah kepemilikan tanah secara perseorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak tersebut harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dan ini merupakan kewajiban bagi pemegang hak tersebut. Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip landreform seagaimana yang tercantum antara lain dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.




e). Perpu
1. Perpu dibuat untuk mencabut pasal-pasal tentang pengaturan objek-objek agraria dalam berbagai undang-undang.
2. Perpu Reforma Agraria dibentuk dibuat untuk mencabut kewenangan lembaga-lembaga sektoral dan pemerintah daerah dalam undang-undang berkaitan dengan sumber-sumber agraria.
3. Perppu itu juga menegaskan pengakuan atas berlakunya kepemilikan adat berdasarkan hukum adat setempat dan kearifan lokal suatu daerah.




f). Peraturan Pemerintah
          Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No. 40/ 1996”), ketika HGB tersebut hapus maka tanahnya akan menjadi tanah Negara.
          Apabila HGB tersebut diatas tanah hak pengelolaan, maka tanahnya akan menjadi kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan. Jika tanah HGB tersebut di atas tanah hak milik, maka tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik. Apabila tanah HGB saudara di atas tanah Negara maka satu tahun sejak hapusnya HGB dan tidak dilakukan perpanjangan atau pembaharuan, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada Negara sebagaimana dalam Pasal 37 PP No. 40/1996, sebagai berikut:
Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara hapus dan diperpanjang atau tidak diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan”
          Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tanah HGB kembali kepada pemegang dasar dari hak atas tanah tersebut. Untuk hal tersebut, Bapak harus mengetahui apakah tanah tersebut adalah HGB di atas hak pengelolaan, hak milik, atau di atas tanah negara. Sebab berdasarkan hukum tanah tersebut telah kembali kepada mereka.




g). Keputusan Presiden

          Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, maka Tanah  Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak  Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor  5  Tahun  1960,  pada  saat  berakhirnya  hak  yang  bersangkutan menjadi  tanah  yang  dikuasai  langsung  oleh Negara. Dengan  demikian, terdapat  penguatan  dan  penyempurnaan  mengenai  ketentuan  tersebut, yang  mengembalikan  hak-hak  atas  tanah  tersebut  menjadi  dikuasai langsung oleh Negara. Selanjutnya, Negara yang menentukan penggunaan, penguasaan dan pemilikan hak atas tanah tersebut.




h). Peraturan Menteri

          Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.




i). Perda ( Perdais )

Contoh Di Yogyakarta :
         
          Berdasarkan undang-undang tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 3/1950), beberapa urusan diserahkan kepada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan otonom. Salah atu akibat dari penyerahan kewenangan ini adalah belum diberlakukannya UUPA No. 5 tahun 1960 di Propinsi tersebut secara penuh.

2.

Sumber Hukum Tidak Tertulis



a). Hukum Kebiasaan Administrasi

          Hukum Kebiasaan yang ada sebelum pemberlakuan UUPA No.5 Tahun 1960 yaitu yurisprudensi.


a). Hukum Kebiasaan Administrasi

          Hukum Kebiasaan yang timbul setelah berlakunya UUPA yaitu yurisprudensi dan praktik administrasi.


b). Hukum Adat

          Hukum agraria lama, bersifat dualistis (asas domeinverklaring), artinya disamping berlaku hukum agraria adat, berlaku juga hukum  agraria barat secara bersamaan dalam satu negara. Hukum agraria adat adalah keseluruhan kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat yang berlaku atas tanah tertentu. Hukum agraria barat adalah keseluruhan kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata barat, kususnya yang diatur dalam kitab UU hukum perdata.
          Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa mengenai Hukum Agraria Adat pernah diberlakukan sebagai sumber hukum agrari yang lama dimana pemberlakuannya bersaan dengan Hukum Agraria Barat.


Sumber : Endah Sri Lestari S.H


Semoga Bermanfaat, Jika Berkenan Tinggalkan Comment dan Share Untuk Membantu Yang Membutuhkan Informasi, Terima Kasih.



Artikel Menarik Lainnya :



b). Hukum Adat

          Hukum adat yang seirama dan sesuai dengan ketentuan yang ada di Pasal 5 UUPA, yakni :
  • Tak bertentangan dengan kepentingan negara dan kepentingan nasional
  • Berasaskan peraturan bangsa
  • Beraraskan sosialisme Indonesia
  • Berdasarkan pada peraturan yang telah tercantum dalam UUPA serta peraturan perundang-undangan yang lain
  • Mengindahkan unsur yang bersandar di hukum agama
  • Hukum kebiasaan yang muncul setelah berlakunya UUPA yakni praktik administrasi dan yurisprudensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar