Mafia Pajak Ala Masyarakat Indonesia (Ditulis oleh Endah Sri Lestari, S.H) - Sewa Pickup Murah Jogja

Minggu, Oktober 15, 2017

Mafia Pajak Ala Masyarakat Indonesia (Ditulis oleh Endah Sri Lestari, S.H)



Mafia Pajak Ala Masyarakat Indonesia (Ditulis oleh Endah Sri Lestari, S.H)





“Sesungguhnya setelah kesulitan terdapat kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan terdapat kemuduhan”. (QS. Al-Insyirah:5-6)



BAB I
PENDAHULUAN

  • Latar Belakang



Perkembangan kepribadian manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak hanya berdampak positif bagi satu sama lain akan tetapi juga sebaliknya. Seperti halnya yang kita ketahui bahwasanya karakter tiap individu berbeda satu dengan yang lainnya. Dan dengan adanya perkembangan zaman serta teknologi yang juga semakin berkembang, dapat disalahgunakan oleh pihak yang berniat buruk. Semakin komplekslah kehidupan, maka semakin banyak pula kejahatan yang merajalela dimanapun manusia itu berada. Terkadang desakan ekonomi juga menjadi salah satu faktor penyebab kejahatan-kejahatan yang terjadi. Kejahatan tidak terbatas pada satu bidang kehidupan saja, bahkan terjadi di berbagai bidang kehidupan, misalnya di bidang perpajakan pun rentan terjadi kejahatan yang dilakukan oleh mafia-mafia pajak. Oleh karena itu, dalam bahasan ini, saya gambarkan mengenai seputar kejahatan yang dilakukan oleh mafia-mafia pajak di Indonesia.

  • Rumusan Masalah
  • Siapa sajakah mafia-mafia pajak di Indonesia ?
  • Apa sajakah ketentuan mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh masing-masing mafia pajak di Indonesia ?

  • Tujuan
  • Untuk mengetahui siapa saja mafia-mafia pajak di Indonesia.
  • Untuk mengetahui ketentuan mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh masing- masing mafia pajak di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mafia-mafia pajak di Indonesia
Mafia-mafia pajak di Indonesia terdiri dari:
  1. Pegawai Pajak
Pegawai pajak adalah setiap orang dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak dalam lingkungan Kementrian Keuangan. Pegawai pajak dalam melaksanakan tugas tidak boleh melanggar hukum, khususnya hukum pajak karena merupakan tanggung jawab yang dipercayakan oleh negara. Namun, tugas lain berupa pencerminan dari sumpah/janji yang diucapkan pada saat pelantikan tidak boleh dilanggar karena berpengaruh pada kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil.[1]

Tugas lain tersebut berupa wewenang maupun larangan sebagaimana


diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Mengenai wewenang maupun larangan tersebut bahwasanya digunakan sebagai indikator kinerja dari pegawai pajak dalam pelayanannya terhadap wajib pajak sebagai bagian dari “sistem self assessment”. Dalam realitasnya, sebagian pegawai pajak menyalahgunakan kekuasaannya. Kemudian mengenai pemidanaannya, dilakukan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Wajib Pajak
Pasal 1 angka 2 UUKUP secara tegas menentukan bahwa “wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.[2]

Pengertian badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.[3]

  1. Pejabat Pajak
Pejabat pajak adalah petugas yang melakukan tugas di bidang perpajakan.

Adapun pihak-pihak yang tergolong sebagai pejabat pajak, adalah sebagai berikut:[4]


  1. Direktur Jenderal Pajak;
  2. Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
  3. Gubernur Kepala Daerah;
  4. Bupati/walikota Kepala Daerah; dan
  5. Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perudang-undangan perpajakan, seperti kepala kantor pelayanan pajak atau kepala dinas pendapatan daerah;
  6. Tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atau oleh kepala daerah.

  1. Pihak Lain
“Pihak lain bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah. Pihak lain meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan pajak, akuntan publik, dan profesi lain seperti, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan dokter. Karena itu, seyogianya dipahami secara tegas kedudukan pihak lain dalam penerapan kaidah hukum pajak untuk mencegah agar tidak terjadi kejahatan dibidang perpajakan.”[5]

2.2 Ketentuan mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh masing-masing mafia pajak di Indonesia
2.2.1 Mafia Pajak oleh Pegawai Pajak
            2.2.1.1 Landasan Hukum
Kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak diatur pada Pasal 36A UUKUP. Dalam Pasal 36A UUKUP tersebut terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan sebagai berikut :
  1. Menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  2. Bertindak diluar kewenangannya.
  3. Melakukan pemerasan dan pengancaman.
  4. Penyalahgunaan kekuasaan.


2.2.1.2 Kejahatan Dilakukan oleh Pegawai Pajak
Tidak memandang bulu, setiap orang diwajibkan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, begitu juga pegawai pajak yang juga diwajibkan untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk peraturan perundang-undangan perpajakan. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi dari sumpah/janji yang telah diikrarkan dihadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal ini, pegawai pajak tidak boleh melanggar hukum pajak. UUKUP mengatur mengenai jenis kejahatan dibidang perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak dalam rangka menjalankan tugasnya, yaitu sebagai berikut :
  1. Menghitung atau Menetapkan Pajak
Ketentuan yang terkait dengan kejahatan ini diatur pada Pasal 36A ayat (1) UUKUP bahwa “pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan UU Perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[6]

Dalam menghitung dan menetapkan pajak, pegawai pajak wajib berpedoman pada surat pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak. Akan tetapi, pada mulanya surat pemberitahuan tersebut haruslah dipastikan akan kebenarnnya agar tidak terjadi kesalahan yang mengarah pada kejahatan di bidang perpajakan. Bahwasanya hal tersebut ditujukan juga untuk kepentingan bersama untuk menghindari adanya pihak yang dirugikan dalam pemungutan pajak.

  1. Bertindak di Luar Kewenangan
Salah satu kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pajak di bidang perpajakan, yaitu dengan sengaja salah menerapkan ketentuan UU (abus de droit).[7] Hal ini tentunya pegawai pajak bertindak tidak berdasar pada UU yang berlaku.

Pegawai pajak tidak boleh bertindak diluar kewenangan yang diberikan oleh hukum pajak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kejahatan yang berdampak terhadap korbannya. Pasal 36 ayat (2) UUKUP menegaskan “pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak diluar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.[8]

Dari penjelasannya pasal tersebut, sudah jelaslah bahwa apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana diluar kewenangannya maka dapat diadukan. Kemudian, hal-hal berkenaan dengan pengaduannya adalah sebagai berikut:
  • Pengaduan harus disampaikan dalam bentuk tertulis dengan memuat identitas pelapor maupun terlapor serta memuat substansi terjadinya tindak pidana diluar kewenangan yang dilakukan oleh pegawai pajak.
  • Surat Pengaduan harus ditandatangani oleh pihak pelapor sebagai bukti bahwa surat tersebut tidaklah ilegal.
  • Diadukan kepada penyidik PNS di lingkungan Direktoral Jenderal Pajak sebagai penyidik khusus (Pasal 44 ayat (1) UUKUP).

  1. Melakukan Pemerasan dan Pengancaman
Dalam memberikan pelayanan, kejahatan melakukan pemerasan dan pengancaman dapat dilakukan oleh pegawai pajak terhadap wajib pajak. Dalam hal ini tentunya menimbulkan kerugian, baik kerugian yang dialami oleh wajib pajak maupun oleh negara. Kerugian yang dialami oleh wajib pajak berupa rasa ketidaknyamanan maupun kerugian secara materiil. Sedangkan kerugian yang dialami negara terkait dengan pendapatan dari sektor pajak sehingga negara juga menjadi korbannya.

“Kejahatan berupa pemerasan dan pengancaman kepada wajib pajak memiliki substansi hukum yang sama dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 368 KUHP. Ketentuan ini (Pasal 36A ayat [3] UUKUP) mengambil-alih ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 368 KUHP untuk diterapkan pada kejahatan berupa pemerasan dan pengancaman. Oleh karena itu, Pasal 36A ayat (3) UUKUP bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi kejahatan berupa pemerasan dan pengancaman kepada wajib pajak. Pencegahan ini hanya sekedar upaya hukum, tetapi tetap tergantung pada perilaku dan moral pegawai pajak yang bersangkutan dalam penunaian tugas yang dipercayakan oleh negara.[9]

  1. Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai pajak diatur pada Pasal 36A ayat (4) UUKUP. Ketentuan ini menentukan “pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya”.”[10]

Dampak dari penyalahgunaan kekuasaan ini sangatlah luas dan tentunya memerlukan penanganan secara khusus agar wajib pajak maupun negara, terhindar dari kejahatan penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai pajak.

2.2.1.3 Sanksi Pidana
Sanksi terhadap kejahatan menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan UU perpajakan berdasarkan Pasal 36A ayat (1) UUKUP adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”[11]

Sanksi terhadap kejahatan ini, pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana maupun sanksi disiplin PNS tetapi penjatuhannya tidak boleh bersamaan.


Kemudian mengenai kejahatan  bertindak diluar kewenangan, pegawai pajak dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terdapat dalam Pasal 36A ayat (2) UUKUP. Dalam hal pegawai pajak melakukan tindak pidana, maka wajib pajak dapat mengadukan tindak pidana tersebut kepada unit internal kementrian negara.

Sementara itu, sanksi pidana terhadap kejahatan melakukan pemerasan dan pengancaman menurut Pasal 36A ayat (3) UUKUP diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP yang sanksinya berupa pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Kemudian kejahatan menyalahgunakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 36A ayat (4) UUKUP dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUPTPK yang sanksi pidananya berupa pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.2.2 Mafia Pajak oleh Wajib Pajak
2.2.2.1 Landasan Hukum     
Landasan hukum mengenai kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah mengacu pada Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C UUKUP.

“Pasal 38 UUKUP, yaitu setiap orang yang karena kealpaannya:”[12]
  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

“Pasal 39 UUKUP, yaitu setiap orang yang dengan sengaja:”[13]
  1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
  4. menyampaikan Surat Pemberitahuan  dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
  5. menolak untuk  dilakukan  pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
  6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
  7. tidak menyelenggarakan  pembukuan  atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
  8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
  9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

“Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.”[14]

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.”[15]

Pasal 39A
“Setiap orang yang dengan sengaja:”[16]
  1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
  2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

“Pasal 41A, yaitu Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).”[17]


        “Pasal 41B, yaitu Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).”[18]

“Pasal 41C, yaitu:”[19]
  1. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
  3. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
  4. Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00(lima ratus juta rupiah).

2.2.2.2 Kejahatan Dilakukan oleh Wajib Pajak
Wajib pajak untuk pelaksanaan ketentuan-ketentuan UU pajak mempunyai beberapa kewajiban yang harus dipenuhi dengan ancaman berbagai sanksi jika tidak dilakukan.  Jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban yang oleh UU diletakkan kepadanya maka ia dapat dipaksa dengan berbagai cara.[20]

        “Kejahatan-kejahatan yang ada di bidang perpajakan tidak hanya dilakukan oleh pegawai pajak, melainkan juga dilakukan oleh wajib pajak, baik dilandasi pada unsur “karena kealpaan” maupun “dengan kesengajaan”. Bahwasanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak tidak akan terjadi jika mereka memiliki kesadaran hukum yang tinggi atas apa yang telah menjadi kewajibannya. Akan tetapi, dalam realitasnya masih saja terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal pemungutan pajak, seperti:”[21]
  1. Tidak Mendaftarkan Diri atau Melaporkan Usahanya
Apabila wajib pajak tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya, maka perbuatannya itu masuk dalam kategori kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak.

Perbuatan wajib pajak diatas tentunya melanggar ketentuan UUKUP yang salah satunya ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (1) UUKUP yang menentukan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan nomor pokok wajib pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak”.



“Wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri untuk diberikan nomor pokok wajib pajak. Persyaratan subyektif adalah persyaratan yang telah ditentukan sebagai subyek pajak berdasarkan ketentuan dalam UUPPh atau UUPDRD. Sementara itu, persyaratan obyektif adalah persyaratan bagi subyek pajak yang menerima penghasilan atau memperoleh penghasilan.”[22]

Dalam hal wajib pajak tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya maka perbuatannya itu adalah perbuatan jahat yang merugikan negara. Hal ini dikarenakan kerugian yang timbul dari perbuatan itu berpengaruh terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

  1. Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan
Seorang wajib pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada direktur jenderal pajak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dikarenakan, dengan adanya surat pemberitahuan itu, maka akan memberikan hubungan antara wajib pajak dengan pejabat pajak dalam hal pemungutan pajak. Nah apabila Si wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan maka perbuatannya itu merupakan bentuk dari suatu kejahatan.

“Kejahatan tidak menyampaikan surat pemberitahuan ditentukan pada Pasal 38 huruf a UUKUP bahwa “setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A”.”[23]

  1. Pemalsuan Surat Pemberitahuan
“Kewajiban wajib pajak adalah mengisi surat pemberitahuan, baik surat pemberitahuan tahunan maupun surat pemberitahuan masa dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani. Setelah itu, disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak.”[24]

Wajib pajak sebagai salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam pemungutan pajak, sudah seharusnya mengisi maupun menyerahkan surat pemberitahuan kepada pejabat pajak sebagaimana mestinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan karena dengan pemalsuan surat pemberitahuan maka akan berpengaruh pada APBN dan tentunya bisa merugikan negara apabila hal tersebut terjadi. Dengan demikian, perbuatan dari wajib pajak dalam hal pemalsuan surat pemberitahuan juga termasuk kejahatan dibidang perpajakan.

  1. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak


Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai identitas Wajib Pajak, maka tidak boleh disalahgunakan terlebih lagi jika menimbulkan kerugian pada negara. Apabila hal ini dilanggar maka wajib pajak dianggap telah melakukan kejahatan di bidang perpajakan.

  1. Menggunakan Tanpa Hak Nomor Pokok Wajib Pajak
Kejahatan menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak adalah kejahatan dengan menggunakan nomor wajib pajak yang dilakukan oleh orang lain yang bukan pemilik dari nomor pokok wajib pajak tersebut. Apabila terjadi kerugian akibat kejahatan ini, maka yang harus bertanggung jawab adalah si wajib pajak pemilik dari nomor pokok wajib pajak tersebut. Oleh karena itu, si wajib pajak haruslah menjaga nomor pokok wajibnya untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab.

  1. Menyalahgunakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Kejahatan menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak adalah kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak dengan menggunakan pengukuhan pengusaha kena pajak tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sebenarnya menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak bisa dilakukan oleh wajib pajak maupun pihak lain. Hal tersebut apabila tetap dilakukan dan dapat mengakibatkan kerugian pada negara maka perbuatannya masuk dalam kejahatan di didang perpajakan. Oleh karena itu, wajib pajak wajib menyimpan dan memelihara pengukuhan pengusaha kena pajak agar tidak disalahgunakan, baik untuk dirinya sendiri maupun oleh pihak lain.

  1. Menggunakan Tanpa Hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Kejahatan menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusaha kena pajak adalah kejahatan dengan menggunakan pengukuhan pengusaha kena pajak yang dilakukan oleh orang lain yang bukan pemilik dari pengukuhan pengusaha kena pajak tersebut. Apabila terjadi kerugian akibat kejahatan ini, maka yang harus bertanggung jawab adalah wajib pajak pemilik dari pengukuhan pengusaha kena pajak tersebut. Oleh karena itu, wajib pajak haruslah menjaga pengukuhan pengusaha kena pajaknya untuk mengantisipasi penyalahgunaan oleh pihak yang bertanggung jawab.

  1. Menolak untuk Diperiksa
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan.”[25]

           “Apabila wajib pajak tidak mampu memperlihatkan hal-hal yang dibutuhkan oleh petugas pemeriksa sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berarti telah melakukam kejahatan menolak untuk tidak dilakukan pemeriksaan. Kejahatan ini harus didasarkan pada perbuatan dengan sengaja yang dilakukan oleh wajib pajak untuk tidak memenuhi kewajiban yang dibutuhkan oleh petugas pemeriksa.”[26]

Kejahatan menolak untuk diperiksa, berkaitan dengan kepatuhan wajib pajak sebagai subyek hukum pajak. Sudah selayaknyalah wajib pajak mematuhi  kewajiban yang ada pada dirinya agar tidak merugikan negara maupun menjadi mafia pajak dibidang perpajakan.



  1. Pemalsuan Pembukuan, Pencatatan, atau Dokumen Lain
Dalam hal pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang diperlihatkan oleh wajib pajak kepada pejabat pajak, apabila didapati kepalsuan yang seolah-olah benar, atau tidak sesuai keadaan yang sebenarnya, maka wajib pajak tersebut telah memiliki peran sebagai mafia pajak. Dalam hal ini, pihak yang menjadi korban adalah negara, sehingga wajib pajak bisa dihukum dengan hukuman yang paling berat.

  1. Tidak Menyelenggarakan Pembukuan atau Pencatatan di Indonesia, Tidak Memperlihatkan atau Tidak Meminjamkan Buku, Catatan, atau Dokumen Lain
Kewajiban wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain hanya dapat dilakukan pada saat pemeriksaan oleh petugas pemeriksa. Akan tetapi, jika wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain maka wajib pajak telah melakukan kejahatan dibidang perpajakan dan berperan sebagai mafia pajak.



  1. Tidak Menyimpan Buku, Catatan, atau Dokumen yang Menjadi Dasar Pembukuan atau Pencatatan

Pengertian pembukuan yaitu proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentabg: keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta harga perolehan dan penyerahan barang/jasa. Kemudian pembukuan ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak.[27]

Buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dalam hukum pajak, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Penyimpanan tersebut dilakukan ditempat kegiatan atau ditempat tinggal wajib pajak orang pribadi atau di tempat kedudukan wajib pajak badan. Nah apabila wajib pajak tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan setelah lewat 10 (sepuluh) tahun maka wajib pajak tersebut tidak melakukan kejahatan dibidang perpajakan.

  1. Tidak Menyetor Pajak yang telah Dipotong atau Dipungut
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut pajak wajib disetor ke kas negara dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian pajak yang dipotong atau dipungut tadi, oleh pemungut pajak disetorkan kepada Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Dengan demikian, apabila wajib pajak tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut tadi, maka wajib pajak melakukan kejahatan dibidang perpajakan.

  1. Menerbitkan dan/atau Menggunakan Faktur Pajak, Bukti Pemungutan Pajak, Bukti Pemotongan Pajak dan/atau Bukti Setoran Pajak
Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak merupakan kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sesungguhnya. Akan tetapi, proses tersebut dan penggunaan bukti pemotongan pajak tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

  1. Menerbitkan Faktur Pajak tetapi Belum Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak



Faktur Pajak adalah bukti pungutan (Pajak Pertambahan Nilai) yang dibuat oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak) karena melakukan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak)/JKP (Jasa Kena Pajak) atau dibuat oleh Direktorat Bea dan Cukai karena impor BKP (Barang Kena Pajak).[28]

“Kejahatan menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak diatur pada Pasal 39A huruf b UUKUP yang menegaskan “setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak … dst …”. Larangan untuk menerbitkan faktur pajak oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak bertujuan untuk melindungi wajib pajak dari tindakan atau perbuatan hukum yang bertentangan dengan ketentuan dalam UUPPN. Berhubung karena faktur pajak dapat dijadikan sebagai instrumen hukum untuk melakukan pengkreditan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.”[29]

  1. Tidak Memberi Keterangan atau Bukti
Memberikan keterangan atau bukti kepada direktur jenderal pajak merupakan hukum yang tidak boleh di abaikan.  Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka telah terjadi kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewajiban.

“Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban adalah bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya. Kewajiban tersebut dibebankan kepada pihak-pihak tersebut karena memiliki hubungan hukum dengan wajib pajak yanh dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan delik pajak.”[30]

  1. Menghalangi atau Mempersulit Penyidikan
Menghalangi atau mempersulit penyidikan yang dilakukan oleh pejabat PNS dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak berarti menghalangi proses penyidikan delik pajak untuk mengungkapkan kejahatan berdasarkan wewenang yang dimilikinya.

“Kejahatan terkait dengan menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak termasuk delik pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41B UUKUP.”[31]

  1. Tidak Memenuhi Kewajiban Memberikan Data atau Infomasi


Kewajiban tidak memenuhi untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan merupakan kejahatan yang dilakukan oleh mafia pajak, khususnya setiap orang yang sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang terkait dengan perpajakan.

  1. Tidak Terpenuhi Kewajiban Pejabat dan Pihak Lain
Kejahatan mengenai tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain diatur pada Pasal 41C ayat (2) UUKUP bahwa ” setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) … dst …”. (UUKUP hlm. 56) Sedangkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) adalah dengan memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

  1. Tidak Memberikan Data dan Informasi Perpajakan
Tidak memberikan data dan informasi perpajakan yang diminta direktur jenderal pajak adalah kejahatan yang dilakukan oleh mafia pajak. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Karena, pihak yang diminta untuk memberikan data dan informasi perpajakan kepada direktur jenderal pajak, diwajibkan melaksanakannya.

“Hal ini diatur pada Pasal 41C ayat (3) UUKUP bahwa “setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh direktur jenderal pajak ssbagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) … dst … “.”[32]

“Ketentuan ini mengaitkan Pasal 35 ayat (2) UUKUP yang mengatur “dalam hal data dan informasi yang terkait dengan perpajakan tidak mencukupi, direktur jenderal pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).”[33]

  1. Menyalahgunakan Data dan Informasi Perpajakan
Bahwasanya, data dan informasi perpajakan merupakan rahasia negara yang tidak boleh disalahgunakan oleh pihak manapun. Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak yang menyalahgunakan data dan informasi perpajakan tadi telah melakukan kejahatan dibidang perpajakan dan menyandang status sebagai mafia pajak.



Setiap data, informasi, laporan, dan/atau pengaduan yang diterima atau ditemukan harus dianalisis dan dinilai terlebih dahulu atau ditemukan harus dianalisi dan dinilai terlebih dahulu mutu dan bobotnya untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pengamaatan. Pengamatan dilaksanakan oleh pengamat dengan Surat Perintah Pengamatan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang berdasarkan hasil analisi tersebut .[34]

     “Hal ini ditegaskan pada Pasal 41C ayat (4) UUKUP bahwa “setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehinggan menimbulkan kerugian pada negara … dst …”.”[35]

2.2.2.3 Sanksi Pidana
Wajib pajak yang terbukti melakukan kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUKUP dikenakan hukuman berdasarkan jenis kejahatan yang dilakukannya.

Kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak berdasarkan Pasal 38 UUKUP, untuk pertama kali dilakukannya tidak dikenakan sanksi pidana. Kecuali, setelah itu harus dikenakan hukuman denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. Jenis hukuman itu pada dasarnya merupakan hukuman pokok dan bersifat alternatif. Lain halnya terhadap kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana ditentukan pada Pasal 39 UUKUP yang berawal dari kejahatan tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya sampai pada kejahatan tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut dapat dikenakan sanksi pidana yang seragam. Sanksi pidana sebagaimana ditentukan pada Pasal 39 UUKUP memiliki sifat kumulatif.”[36]

Sementara itu, sanksi pidana menurut Pasal 39A UUKUP berupa penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali lipat jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang sanksinya bersifat kumulatif (tidak boleh dilakukan pilihan).



2.2.2.4 Pemberatan Sanksi Pidana
“Ketentuan yang terkait dengan pemberatan sanksi pidana terhadap kejahatan dibidang perpajakan diatur pada Pasal 39 ayat (2) UUKUP. Ketentuan ini menegaskan bahwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan satu kali menjadi dua kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Kemudian menurut penjelasan ketentuan ini, ditegaskan bahwa untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai pidana lebih berat, yaitu ditambah satu kali menjadi dua kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).”[37]

2.2.2.5 Percobaan Melakukan Delik Pajak
“Hukum pajak memandang bahwa percobaan atau “poging” merupakan suatu kejahatan di bidang perpajakan yang berdiri sendiri dalam bentuk delik pajak.[38]Demikian pula yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa pada umumnya, kata “percobaan” atau “poging” berarti suatu upaya mencapai suatau tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.”[39]

Oleh karena itu, percobaan tersebut dilakukan oleh pelaku kejahatan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Pengaturan mengenai percobaan melakukan kejahatan dibidang perpajakan sebagai delik pajak yang berdiri sendiri terdapat pada Pasal 39 ayat (3) UUKUP. Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana, berupa:[40]
  1. Menyalahgunakan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak);
  2. Menggunakan tanpa hak NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak); atau
  3. Memalsukam surat pemberitahuan yanh disampaikan.

Percobaan melakukan kejahatan dibidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Hal ini dikarenakan akibat hukum yang ditimbulkan sangat merugikan pendapatan negara dari sektor pajak.  Selain itu, sanksi pidana yang dikenakan pada pelakunya dilipatgandakan berdasarkan kepentingan yang dirugikan dan harus dalam bentuk tertulis agar ada kepastian hukum. Hal ini ditujukan sebagai upaya preventif agar tidak terjadi percobaan kejahatan dibidang perpajakan.

Perlindungan hukum preventif dilakukan sebagau upaya pencegahan agar tidak terjadi benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud, misalnya adalah benturan kepentingan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak di satu pihak dengan publik di pibak lain. Oleh karena itu, perlindungan hukum preventif merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan, sehingga harus mendapatkan perhatian penuh. Sedapat mungkin, benturan kepentingan sekecil apapun harus dihindarkan.[41]



2.2.3 Mafia Pajak oleh Pejabat Pajak
2.2.3.1 Landasan Hukum
Kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak sangat terkait dengan rahasia perpajakan dari wajib pajak. Berhubung karena, pejabat pajak memiliki kewajiban untuk merahasiakan rahasia perpajakan dari wajib pajak yang telah diketahui olehnya. Kewajiban ini terlanggar karena kealpaan atau dengan kesengajaan dilakukannya kejahatan untuk itu. Hal tersebut dilandasi pada Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UUKUP. Namun, kejahatan ini dikategorikan ke dalam delik aduan, karena menurut Pasal 41 ayat (3) UUKUP terlebih dahulu harus diadukan agar boleh dilakukan penuntutan.[42]

2.2.3.2 Kejahatan Dilakukan oleh Pejabat Pajak
        Pejabat pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan tindak pidana, baik dengan sengaja atau tidak dengan sengaja . Pejabat pajak dapat melakukan doleus delict (dengan sengaja) jika ia secara sadar menyalahgunakan wewenang publik yang ada padanya (detourment de pouvoir). Ada kalanya juga ia dengan  sengaja salah merupakan ketentuan UU (abus de droit). Kedua perbuatan itu dapat merugikan wajib pajak dan dapat pula merugikan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau golongan /kelompok lain. Jika perbuatan itu terjadi tidak dengan sengaja, hal ini tidak berarti bahwa ia akan terlepas dari hukuman, hanya saja hukumannya akan lebih ringan, karena perbuatannya digolongkan pada “pelanggaran”.[43]

Dalam hal menjalankan tugasnya, pejabat pajak juga mempunyai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan wajib pajak. Oleh karena itu, apabila ketentuan tersebut dilanggar maka pejabat pajak yang bersangkutan telah menyandang status sebagai mafia pajak. Berikut ini adalah kejahatan-kejahatan yang terjadi dibidang perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak:
  1. Tidak Memenuhi Kewajiban Merahasiakan Rahasia Wajib Pajak

“Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan kewajiban merahasiakan dimaksus ditiadakan.[44]



Setelah wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib pajak, maka pejabat pajak memiliki kewajiban untuk merahasiakan rahasia wajib pajak. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka pejabat pajak melakukan kejahatan di bidang perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan tadi tidak diberitahukan kepada pihak lain. Oleh karena itu, pejabat pajak yang tidak memenuhi kewajibannya untuk merahasiakan rahasia wajib pajak dapat dikenakan hukuman yang seimbang dengan perbuatannya.

  1. Tidak Dipenuhi Kewajiban Merahasiakan Rahasia Wajib Pajak
Pasal 41 ayat (2) UUKUP secara tegas menentukan “pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 … dst … “. Sementara itu, kewajiban pejabat pajak berdasarkan Pasal 34 UUKUP adalah merahasiakan rahasia wajib pajak yang terkait dengan perpajakan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut memuat dua jenis kejahatan di bidang perpajakan dengan modus operandinya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, yaitu:[45]
  1. Kejahatan yang dengan sengaja dilakukan oleh pejabat pajak tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak;
  2. Kejahatan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat pajak merahasiakan rahasia wajib pajak.

2.2.3.3 Sanksi Pidana
“Sanksi pidana kejahatan tidak mmenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUKUP adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Kedua jenis sanksi pidana ini merupakan pidana pokok yang bersifat kumulatif. Artinya, tidak boleh hanya satu jenis sanksi pidana yang dikenakan kepada pejabat pajak ketika melakukan kejahatan dan terbukti melakukan delik pajak.”[46]

“Sementara itu, sanksi pidana bagi kejahatan tidak dipenuhinya kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak karena pengaruh seseorang berdasarkan Pasal 41 ayat (2) UUKUP adalah dipidana penjara paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kedua jenis sanksi pidana ini merupakan pidana pokok yang bersifat kumulatif. Artinya tidak boleh hanya satu jenis sanksi pidana yang dikenakan kepada pejabat pajak ketika melakukan kejahatan dan terbukti melakukan delik pajak.”[47]

  • Mafia Pajak oleh Pihak Lain
Pihak ketiga yang bukan merupakan wajib pajak yang bersangkutan, dapat juga melakukan tindak pidana dalam bidang perpajakan.[48]



2.2.4.1 Landasan Hukum
“Pihak lain sebagai pihak yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya secara tega s diatur pada Pasal 43 UUKUP:”[49]
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

  • Kedudukan Pihak Lain sebagai Mafia Pajak
Kedudukan pihak lain sebagai mafia pajak disini adalah berperan sebagai pihak yang memberikan sarana dan prasarana agar terjadinya delik pajak yang dilakukan oleh mafia pajak.

Kemudian mengenai jenis kejahatan dibidang perpajakan yang dapat dilakukan oleh pihak lain sebagai mafia pajak adalah sebagai berikut:
  1. tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya;
  2. tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
  3. pemalsuan surat pemberitahuan;
  4. menyalahgunakan NPWP;
  5. menggunakan tanpa hak NPWP;
  6. menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak;
  7. menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusaha kena pajak;
  8. menolak untuk diperiksa;
  9. pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;
  10. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
  11. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;
  12. tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;
  13. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;
  14. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
  15. tidak memberikan keterangan atau bukti;
  16. menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak.[50]

Dengan berbagai jenis kejahatan yang dimungkinkan dilakukan oleh pihak lain sebagai mafia pajak, maka diperlukan adanya pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak agar bisa diketahui kedudukan dari pihak lain dalam delik pajak seperti kedudukan sebagai berikut:
  1. Menyuruh Melakukan (Doenplegen)
“Menyuruh melakukan merupakan bagian dari satu bentuk penyertaan yang terkait dengan delik pajak. Di dalam suatu doenplegen itu jelas terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melakukan tindak pidanatersebut.”[51]



“Doenplegen secara harfiah dapat diterjemahkan dengan pembuat pelaku karena setiap orang di Indonesia sudah memakai istilah penyuruh.”[52]

  1. Turut Melakukan (Medeplegen)
“Turut melakukan (medeplegen) merupakan bagian dari deelmening. Hal ini dipertegas.”[53]

Oleh karena itu, di dalam bentuk deemening ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan delik yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk deelmening ini juga sering disebut suatu mededaderchap. Dengan demikian, maka medeplegen itu disamping merupakan suatu bentuk deelniming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap.

“Medeplegen sebagai satu bentuk peyertaan, harus mewujudkan semua unsur delik seperti pada rumusan doenplegen (penyuruhan, hal pembuat pelaku). Semua unsur delik dapat dibagi oleh berbagai orang. Akan tetapi, harus dimungkinkan pula bahwa seorang pelaku peserta melakukan perbuatan yang menurut uraian delik merupakan perbuatan pelaksanaan, sedangkan pelaku peserta lain melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan yang sesuai uraian delik, namun untuk pelaksanaan perbuatan yang disebut pertama sangat penting. Misalnya, pelaku peserta yang kedua melakukan penjagaan saja, sedangkan kawan berbuatnya melakukan pencurian.”[54]

  1. Menganjurkan Melakukan (Uitlokking)
“Uitlokking atau menganjurkan melakukan perbuatan merupakan salah satu bentuk dari deelmening. Uitlooking dalam kaitan dengan hukum pajak berada dalam konteks adanya anjuran untuk melakukan perbuatan itu. Anjuran itu dapat berasal dari wakil pajak, akuntan publik, konsultan pajak, notaris, dokter, atau profesi lain yang terkait dengan hukum pajak.”[55]

  1. Membantu Melakukan (Medeplichtigheid)
“Membantu melakukan perbuatan (medeplichtigheid) merupakan pula bentuk penyertaan dalam kaitan delik hukum pajak. Kategori sifat membantu melakukan perbuatan yang bersifat aktif dan bersifat pasif. Akan tetapi, dalam Pasal 56 KUHP  menjelaskan gambaran mengenai medeplichtigheid, sebagai berikut:”[56]
  1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan dilakukan (diwujudkan);
  2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya (sarana) atau keterangan untuk melakukan (mewujudkan) kejahatan.

Kemudian, penjelasan Pasal 43 ayat (1) UUKUP memperluas pengertian orang yang membantu melakukan perbuatan bukan hanya wakil wajib pajak., kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, dan pihak lain, tetapi termasuk pula akuntan publik, dan konsultan pajak. Terjaringnya akuntan publik dan konsultan pajak sebagai bagian dari mafia pajak merupakan bentuk preventif dalam kerangka mengantisipasi adanya delik pajak.

2.2.4.3 Sanksi Pidana
Pihak lain dalam melakukan kejahatan di bidang perpajakan berdasarkan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UUKUP  berada dalam kedudukan sebagai penyertaan bukan merupakan pelaku atau dader. Dalam hal ini, sebagai pelaku atau dader adalah wajib pajak memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan atau larangan yang tidak boleh dilakukan yang menyebabkan terjadinya kejahatan di bidang perpajakan. Namun, sanksi pidana yang dikenakan kepada pihak lain dalam kedudukannya sebagai penyertaan tidak berbeda dengan wajib pajak tersebut.



2.3 Latihan Soal
  1. Sebutkan mafia-mafia pajak di Indonesia ?
  2. Sebutkan dan jelaskan landasan-landasan hukum mengenai mafia pajak di Indonesia !
  3. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis kejahatan yang dapat dilakukan oleh masing-masing mafia pajak di Indonesia !
  4. Sebutkan dan jelaskan sanksi pidana yang sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh mafia pajak di Indonesia !
  5. Berikan pendapat anda mengenai cara meminimalisir terjadinya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh mafia pajak di Indonesia !















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mafia-mafia pajak di Indonesia adalah sebagai berikut: Pegawai Pajak, Wajib Pajak, Pejabat, Pajak, serta Pihak Lain yang berhubungan dengan bidang perpajakan.



Setiap mafia pajak bisa melakukan kejahatan yang berbeda antar satu dengan yang lain dan juga sebaliknya. Mafia pajak oleh pegawai pajak dapat melakulan kejahatan-kejahatan seperti berikut: menghitung atau menetapkan pajak, bertindak diluar kewenangan, melakukan pemerasan dan pengancaman, serta penyalahgunaan kekuasanan. Sementara itu, mafia pajak oleh wajib pajak dapat melakukan kejahatan-kejahatan seperti berikut: tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya, tidak menyampaikan surat pemberitahuan, pemalsuan surat pemberitahuan, menyalahgunakan NPWP, menggunakan tanpa hak NPWP, menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak, menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusaha kena pajak, menolak untuk diperiksa, pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain, tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain, tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut, menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak, menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, tidak memberi keterangan atau bukti, menghalangi atau mempersulit penyidikan, tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi, tidak terpenuhi kewajiban pejabat dan pihak lain, tidak memberikan data dan informasi perpajakan, serta menyalahgunakan data dan informasi perpajakan. Kemudian, mengenai mafia pajak oleh pejabat pajak, dapat melakukan kejahatan-kejahatan seperti berikut: tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak dan tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak. Sementara itu, mengenai mafia pajak oleh pihak lain, dapat melakukan kejatahan-kejahatan seperti berikut: tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya, tidak menyampaikan surat pemberitahuan, pemalsuan surat pemberitahuan, menyalahgunakan NPWP, menggunakan tanpa hak NPWP, menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak, menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusaha kena pajak, menolak untuk diperiksa, pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain, tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain, tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut, menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak, menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, tidak memberikan keterangan atau bukti, serta menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak.











DAFTAR PUSTAKA

Atep Adya Barata, 2003, Memahami Pengadilan Pajak, “Meminimalisasi dan Menghindar Sengketa Pajak & Bea Cukai”,hlm. 80-81, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Atep Adya Barata, 2003, Memahami Pengadilan Pajak, “Meminimalisasi dan Menghindar Sengketa Pajak & Bea Cukai”,hlm. 118, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Atep Adya Barata, 2003, Memahami Pengadilan Pajak, “Meminimalisasi dan Menghindar Sengketa Pajak & Bea Cukai”,hlm. 121, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Erly Suandy, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, hlm. 203, Jakarta: Salemba Empat.
Erly Suandy, 2014, Op. Cit., hlm. 193.
Lamintang, 1997: Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ketiga, hlm. 609, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Lamintang, Op. Cit., hlm. 615.
Moeljatno, 1999, KUHP, hlm. 26, Yogyakarta: Sinar Grafika.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 16, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 33, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 34 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 111, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 123, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 19, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 100.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 103-104.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 106-107.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 107.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 108
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 124.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 126-127.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 133.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 21-22.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 25.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 26.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 27.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 38-101.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 39.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 44.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 46.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 62.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 91.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 93.
Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 96.
Rochmat Soemitro, 1989, Asas dan Dasar Perpajakan 3, hlm. 19-20, Bandung: PT. Eresco.

Rochmat Sumitro, Op. Cit., hlm. 25.
Rocmat Soemitro, 1989, Asas dan Dasar Perpajakan 3, hlm. 19-20, Bandung: PT. Eresco.
Rocmat Soemitro, Op. Cit., hlm. 22.
Siti Resmi, 2007, Perpajakan, “Teori dan Kasus”, Edisi 3, hlm. 45, Jakarta: Salemba Empat.
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi ketiga, hlm. 106, Bandung:  PT: Retik Aditama.
  1. Sri Pudyatmoko, 2007, Op. Cit., hlm. 102.
  2. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, hlm. 156, Jakarta: Salemba Empat.
  3. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, hlm. 113, Jakarta: Salemba Empat.
Zainal Abidin Farid, A & A. Hamzah, 2008: Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,   Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensir, Edisi revisi, hlm. 176, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zainal Abidin Farid, Op. Cit., hlm. 200-201.

UNDANG-UNDANG
Moeljatno, 1999, KUHP, hlm. 26, Yogyakarta: Sinar Grafika.
UU No. 28 Tahun 2007, Op. Cit., hlm. 56.
UU no. 28 Tahun 2007, Op. Cit., hlm. 56.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, hlm. 52-53.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, hlm. 53-54.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, ayat (2) hlm. 54.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, ayat (3) hlm. 54.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, hlm. 55.
UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, hlm. 56.
[1] Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan, 2011, hlm. 16, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[2] Ibid., hlm. 33.
[3] Ibid., hlm. 34.
[4] Ibid., hlm. 111.
[5] Ibid., hlm. 123.
[6] Ibid., hlm. 19.
[7] Rochmat Soemitro, 1989, Asas dan Dasar Perpajakan 3, hlm. 19-20, PT. Eresco: Bandung.

[8] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 21-22.
[9] Ibid., hlm. 25.
[10] Ibid., hlm. 26.
[11] Ibid., hlm. 27.
[12] UU No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, hlm. 52-53.
[13] Ibid., hlm. 53-54.

[14] Ibid., ayat 2,  hlm. 54.
[15] Ibid., ayat 3,  hlm. 54.
[16] Ibid., hlm. 55.
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 56.
[19] Ibid.
[20] Rocmat Soemitro, Op. Cit., hlm. 22.
[21] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 38-101.
[22] Ibid., hlm. 39.
[23] Ibid., hlm. 44.
[24] Ibid., hlm. 46.
[25] Erly Suandy, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, hlm. 203, Jakarta: Salemba Empat.
[26] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 62.
[27] Erly Suandy, 2014, Op. Cit., hlm. 193.

[28] Siti Resmi, 2007, Perpajakan, “Teori dan Kasus”, Edisi 3, hlm. 45, Jakarta: Salemba Empat.
[29] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 91.
[30] Ibid., 93.
[31] Ibid., 96.
[32] UU No. 28 Tahun 2007, Op. Cit., hlm. 56.
[33] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 100.
[34] Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Op. Cit., hlm. 102.
[35] UU no. 28 Tahun 2007, Op. Cit., hlm. 56.
[36] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 103-104.

[37] Ibid., hlm. 106-107.
[38] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 107.
[39] Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi ketiga, hlm. 106, Bandung:  PT: Retik Aditama.
[40] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 108
[41] Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, hlm. 156, Jakarta: Salemba Empat.
[42] Ibid., hlm. 113.
[43] Rocmat Soemitro, 1989, Asas dan Dasar Perpajakan 3, hlm. 19-20, Bandung: PT. Eresco
[44] Atep Adya Barata, 2003, Memahami Pengadilan Pajak, “Meminimalisasi dan Menghindar Sengketa Pajak & Bea Cukai”,hlm. 80-81, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

[45] Ibid., hlm. 118.
[46] Ibid., hlm 121.
[47] Ibid.
[48] Rochmat Sumitro, Op. Cit., hlm. 25.
[49] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 124.
[50] Ibid., hlm. 126-127.
[51] Lamintang, 1997: Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ketiga, hlm. 609,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

[52] Zainal Abidin Farid, A & A. Hamzah, 2008: Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,   Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensir, Edisi revisi, hlm. 176, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[53] Lamintang, Op. Cit., hlm. 615.
[54] Zainal Abidin Farid, Op. Cit., hlm. 200-201.
[55] Muhammad Djafar, Op. Cit., hlm. 133.
[56] Moeljatno, 1999, KUHP, hlm. 26, Yogyakarta: Sinar Grafika

Sumber : endahsrilestari16.wordpress.com

Semoga Bermanfaat, Jika Berkenan Tinggalkan Comment dan Share Untuk Membantu Yang Membutuhkan Informasi, Terima Kasih.



Pencarian Terkait : Hukum Pajak, jogja, jogjakarta, Kumpulan arti dari perpajakan, Mafia Pajak, Mafia Pakak Ala Masyarakat Indonesia, pajak pembangunan, Pengertian dari Pajak, Perpajakan, Wajib Pajak, yogyakartachannel, Landasan Hukum, Pengertian Pejabat Pajak, Pengertian Hukum Penitesir, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Memahami Pengadilan Pajak, Asas dan Dasar Perpajakan, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, Meminimalisasi dan Menghindar Sengketa Pajak & Bea Cukai, Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Kejahatan di Bidang Perpajakan, Menyalahgunakan NPWP, Mafia Pajak Oleh Pegawai Pajak, Bea dan Cukai,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar